Perbedaan Peredaran Bruto dalam Pasal 16 dan Pasal 31E

Perbedaan Peredaran Bruto

dalam Pasal 16 dan Pasal 31E

 

Pendahuluan

Setiap orang yang menjalankan kegiatan usaha pasti akan mengharapkan tambahan ekonomis dari kegiatan usahanya tersebut. Itulah yang disebut dengan bisnis. Sejalan dengan pengertian bisnis yaitu kegiatan memberikan tambahan nilai ekonomis suatu barang dan jasa dan memperoleh keuntungan melalui transaksi. Lalu bagaimana kaitannya dengan pajak? Tentu berkaitan karena pajak penghasilan mendefinisikan penghasilan adalah setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun. Jelas sudah bahwa kegiatan bisnis berkaitan dengan pajak.

Dalam kegiatan usaha dan bisnis, masyarakat biasa mengenal istilah omzet atau dalam pajak menyebutnya sebagai peredaran bruto.  Apakah sebenarnya yang dimaksud dengan peredaran bruto? Peredaran bruto adalah penghasilan yang diterima atau diperoleh dari kegiatan usaha sebelum dikurangi biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, meliputi:

  1. Penghasilan yang dikenai PPh bersifat final;
  2. Penghasilan yang dikenai PPh tidak bersifat final; dan
  3. Penghasilan yang dikecualikan dari objek pajak.

Jadi, bisa dibilang peredaran bruto menjadi penghitungan laba paling awal yang pada akhirnya akan menjadi penghasilan neto. Yang akan menjadi fokus pembahasan paper disini adalah peredaran bruto pada pasal 16 dan pasal 31E Undang-undang Pajak Penghasilan. Berikut ini adalah pembahasan yang saya berikan.

Pembahasan

Pasal 16

Pasal 16 Undang-undang Pajak Penghasilan memberikan pedoman bahwa Penghasilan Kena Pajak sebagai dasar penerapan tarif bagi Wajib Pajak dalam negeri dalam suatu tahun pajak dihitung dengan cara mengurangkan dari penghasilan sebagaimana  dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dengan pengurangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 7 ayat (1), serta Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf e, dan huruf g.

Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang peredaran brutonya dalam 1 (satu) tahun kurang dari Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) boleh menghitung penghasilan neto dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dengan syarat memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan pertama dari tahun pajak yang bersangkutan.

Akan tetapi, menurut saya ada sesuatu yang tidak sinkron antara pasal 16 dan pasal 14 Undang-undang Pajak Penghasilan. Dalam pasal 16 ayat (2) menyebutkan bahwa Penghasilan Kena Pajak orang pribadi dan badansebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 dihitung dengan menggunakan norma penghitungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 dan untuk Wajib Pajak orang pribadi dikurangi dengan Penghasilan Tidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1). Padahal dalam pasal 14 hanya mengatur orang pribadi yang diperbolehkan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto. Bagi wajib pajak  orang pribadi tersebut diwajibkan menyelenggarkan pencatatan. Bagaimana dengan wajib pajak badan?

Jika ditelusuri dari Undang-undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan pasal 28, maka terdapat suatu klausul yang menyatakan bahwa Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dan Wajib Pajak badan di Indonesia wajib menyelenggarakan pembukuan. Pencatatan diperbolehkan kepada wajib pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan diperbolehkan menghitung penghasilan neto dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto dan Wajib Pajak orang pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas.

Intinya, untuk wajib pajak badan tidak diperbolehkan menyelenggarakan pencatatan berapa pun peredaran brutonya. Berbeda dengan wajib pajak orang pribadi. Untuk wajib pajak orang pribadi diperbolehkan menyelenggarakan pencatatan dengan syarat peredaran bruto kurang dari Rp4.800.000.000,00 dan memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan pertama dari tahun pajak yang bersangkutan. Nah menurut saya, terdapat kesalahan redaksi di pasal 16 ayat (2) Undang-undang Pajak Penghasilan. Seharusnya menyebutkan bahwa bahwa Penghasilan Kena Pajak orang pribadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 dihitung dengan menggunakan norma penghitungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 dan untuk Wajib Pajak orang pribadi dikurangi dengan Penghasilan Tidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1).

Bagi wajib pajak badan, sesuai Undang-undang nomor 36 tahun 2008, penghitungan Pajak Penghasilan yang terutang menggunakan tarif 28% (pasal 17 ayat (1) huruf b) kemudian mulai tahun pajak 2010 tarif menjadi 25% (pasal 17 ayat 2a). Kemudian pemerintah memberikan keringanan kepada wajib pajak badan yang berbentuk perseroan terbuka yang paling sedikit 40% (empat puluh persen) dari jumlah keseluruhan saham yang disetor diperdagangkan di bursa efek di Indonesia dan memenuhi persyaratan tertentu lainnya dapat memperoleh tarif sebesar 5% (lima persen) lebih rendah daripada tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan ayat (2a) yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah (pasal 17 ayat 2b). Misalnya  saja, ada suatu wajib pajak badan berbentuk perseroan terbuka menjual 40% saham yang disetor di bursa efek maka wajib pajak badan tersebut dikenai tarif PPh terutang sebesar 23% untuk tahun pajak 2009 dan sebesar 20% untuk tahun pajak 2010. Harapan dari fasilitas pasal 17 ayat 2b adalah untuk mendorong wajib pajak badan agar go public dengan menjual sahamnya di bursa efek. Dengan adanya penjualan saham, maka kuantitas modal yang dimiliki wajib pajak badan semakin bertambah sehingga wajib pajak badan dapat meingkatkan kapasitas produksi, menambah jumlah karyawan, melakukan diversefikasi produk dsb. Dampaknya adalah peningkatan omzet yang dimiliki, pada akhirnya penerimaan dari sektor pajak bertambah dan tercipta peningkatan perekonomian bangsa.

Pasal 31E

Selain perubahan tarif PPh wajib pajak badan pasal 17 sebagaimana yang saya jelaskan di atas, Undang-undang nomor 36 tahun 2008 masih memberikan fasilitas berupa pengurangan tarif pajak penghasilan. Jika wajib pajak orang pribadi mendapat fasilitas bila memiliki peredaran bruto dibawah Rp4.800.000.000,00 yaitu diperbolehkan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto dalam menghitung penghasilan neto maka begitu pun wajib pajak badan sesuai pasal 31E ayat (1). Wajib pajak badan diberikan fasilitas bila memiliki peredaran bruto sampai dengan Rp 50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) yaitu fasilitas berupa pengurangan tarif sebesar 50% (lima puluh persen) dari tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf b dan ayat (2a) yang dikenakan atas Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto sampai dengan Rp 4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah).

Berdasarkan ketentuan tersebut diatas, SE nomor 66 tahun 2010 menegaskan hal-hal sebagai berikut :

a.         Fasilitas pengurangan tarif sesuai dengan Pasal 31E ayat (1) Undang-Undang Pajak Penghasilan dilaksanakan dengan cara self assessment pada saat penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan. Dengan demikian, Wajib Pajak tidak perlu menyampaikan permohonan untuk dapat memperoleh fasilitas tersebut.

b.         Batasan peredaran bruto sampai dengan Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) adalah sebagai batasan maksimal peredaran bruto yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak badan dalam negeri untuk dapat memperoleh fasilitas pengurangan tarif sesuai dengan Pasal 31E ayat (1) Undang-Undang Pajak Penghasilan.

c.         Peredaran bruto sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 31E ayat (1) Undang-undang Pajak Penghasilan adalah penghasilan yang diterima atau diperoleh dari kegiatan usaha sebelum dikurangi biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, meliputi :

1) Penghasilan yang dikenai Pajak Penghasilan bersifat final;

2) Penghasilan yang dikenai Pajak Penghasilan tidak bersifat final; dan

3) Penghasilan yang dikecualikan dari objek pajak.

d.         Fasilitas Pasal 31E ayat (1) tersebut bukan merupakan pilihan. Sepanjang akumulasi peredaran bruto sebagaimana dimaksud pada huruf c di atas tidak melebihi Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah), tarif Pajak Penghasilan yang diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak badan dalam negeri wajib mengikuti ketentuan fasilitas pengurangan tarif sesuai dengan Pasal 31E ayat (1) Undang-Undang Pajak Penghasilan.

 

Perbedaan pasal 16 dan pasal 31E

Dari pembahasan di atas, saya menemukan perbedaan di antara pasal 16 dan pasal 31E. kedua pasal ini memberikan fasilitas kepada wajib pajak. Pasal 16 memberikan fasilitas kepada wajib pajak orang pribadi dengan peredaran bruto dengan jumlah tertentu agar bisa menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto dan menyelenggarakan pencatatan. Sedangkan pasal 31E memberikan fasilitas kepada wajib pajak badan dengan batasan peredaran bruto tertentu agar mendapat pengurangan tarif sebesar 50%.

Jika fasilitas pasal 16 merupakan suatu pilihan artinya wajib pajak orang pribadi yang memenuhi kriteria boleh menggunakan atau tidak fasilitas pemakaian Norma Penghitungan Penghasilan Neto dan menyelenggarakan pencatatan. Sedangkan pasal 31E bukan merupakan suatu pilihan bagi wajib pajak badan untuk menggunakannya atau pun tidak.

Pada dasarnya sama yaitu membahas peredaran bruto. Namun, peredaran bruto yang dimaksud pasal 16 dan pasal 31E berbeda. Pasal 16 memperhitungkan peredaran bruto hanya dari penghasilan sebagaimana dalam pasal 4 ayat (1) UU PPh yang pada akhirnya muncul Penghasilan Kena Pajak dengan pengurangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 7 ayat (1), serta Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf e, dan huruf g. Pasal 16 tidak memperhitungkan penghasilan-penghasilan sebagaimana dimaksud Pasal 4 ayat (2) UU PPh (penghasilan yang dikenakan pajak secara final) ­dan penghasilan sebagaimana dimaksud  pasal 4 ayat (3) UU PPh (bukan merupakan objek pajak). Sedangkan pada pasal 31E, yang termasuk dalam peredaran bruto adalah semua penghasilan yang berasal dari kegiatan usaha, termasuk didalamnya adalah penghasilan yang dikenai PPh tidak final, penghasilan yang dikenai PPh final, dan penghasilan bukan objek pajak. Dari sini akan muncul pertanyaan, kenapa ada penghasilan yang dikenai PPh final dan penghasilan yang bukan objek pajak dalam penghitungan penghasilan kena pajak? Contoh penghitungan yang diberikan SE nomor 66 tahun 2010 juga menimbulkan pertanyaan. Bukankah  ada koreksi fiskal terhadap penghasilan yang dikenai PPh final dan penghasilan bukan objek pajak?

Contoh Soal

1. Peredaran bruto PT Munajab Cinta dalam Tahun Pajak 2010 sebesar Rp4.600.000.000,00 (empat miliar lima ratus juta rupiah) dengan Penghasilan Kena Pajak sebesar Rp 400.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Rinciannya adalah sebagai berikut :
a. Peredaran Bruto dari penghasilan yang :


Dikenai PPh bersifat final
bukan objek pajak
dikenai PPh tidak bersifat final
Jumlah
 Rp  1.500.000.000,00
Rp     500.000.000,00
 Rp  2.600.000.000,00

Rp  4.600.000.000,00

b. Biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan usaha yang :


dikenai PPh bersifat final
bukan objek pajak
dikenai PPh tidak bersifat final
Jumlah
(Rp    450.000.000,00)
(Rp    200.000.000,00)
(Rp 1.350.000.000,00)

(Rp  2.000.000.000,00)

c. Laba usaha
(penghasilan neto usaha)
Rp  2.600.000.000,00
d. Penghasilan dari luar usaha yang:

dikenai PPh bersifat final
dikenai PPh tidak bersifat final
 Rp      50.000.000,00
Rp    100.000.000,00
e. Biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan dari luar usaha yang :

dikenai PPh bersifat final
dikenai PPh tidak bersifat final
(Rp     25.000.000,00)
(Rp     50.000.000,00)
Penghasilan neto dari luar usaha  Rp      75.000.000,00
f. Jumlah seluruh penghasilan neto  Rp  2.675.000.000,00
g. Koreksi fiskal





peredaran bruto dari penghasilan yang dikenai PPh berisfat final
peredaran bruto dari penghasilan yang bukan objek pajak
biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan usaha yang dikenai PPh bersifat final
biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan usaha yang bukan objek pajak
peredaran dari luar usaha yang dikenai PPh bersifat final
biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan dari luar usaha yang dikenai PPh bersifat final
(Rp  1.500.000.000,00)
(Rp     500.000.000,00)
Rp     450.000.000,00
Rp     200.000.000,00
(Rp       50.000.000,00)
Rp    325.000.000,00
Jumlah (Rp  1.675.000.000,00)
h. Jumlah seluruh penghasilan neto setelah koreksi fiskal  Rp  1.000.000.000,00
i. Kompensasi kerugian (Rp     600.000.000,00)
j. Penghasilan Kena Pajak  Rp     400.000.000,00
Penghitungan Pajak Penghasilan terutang :
Seluruh Penghasilan Kena Pajak dikenai tarif sebesar 50% (lima puluh persen) dari tarif Pajak Penghasilan badan yang berlaku karena jumlah peredaran bruto PT Munajab Cinta (hanya Rp 4.600.000.000,00) tidak melebihi Rp 4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah).

Pajak Penghasilan yang terutang :
(50% x 25%) x Rp 400.000.000,00 = Rp50.000.000,00.

2. Peredaran bruto PT Janji Manis dalam Tahun Pajak 2010 sebesar Rp 35.000.000.000,00 (tiga puluh miliar rupiah) dengan Penghasilan Kena Pajak sebesar Rp4.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). Rinciannya adalah sebagai berikut :
a. Peredaran Bruto dari penghasilan yang :


Dikenai PPh bersifat final
bukan objek pajak
dikenai PPh tidak bersifat final
Jumlah
 Rp  7.000.000.000,00
Rp  3.000.000.000,00
 Rp 25.000.000.000,00

Rp 35.000.000.000,00

b. Biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan usaha yang :


dikenai PPh bersifat final
bukan objek pajak
dikenai PPh tidak bersifat final
Jumlah
(Rp   4.500.000.000,00)
(Rp   2.500.000.000,00)
(Rp 18.000.000.000,00)

(Rp 25.000.000.000,00)

c. Laba usaha
(penghasilan neto usaha)
Rp  10.000.000.000,00
d. Penghasilan dari luar usaha yang:

dikenai PPh bersifat final
dikenai PPh tidak bersifat final
 Rp       60.000.000,00
Rp  2.500.000.000,00
e. Biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan dari luar usaha yang :

dikenai PPh bersifat final
dikenai PPh tidak bersifat final
(Rp      30.000.000,00)
(Rp  1.000.000.000,00)
Penghasilan neto dari luar usaha  Rp  1.530.000.000,00
f. Jumlah seluruh penghasilan neto  Rp  8.470.000.000,00
g. Koreksi fiskal





peredaran bruto dari penghasilan yang dikenai PPh bersifat final
peredaran bruto dari penghasilan yang bukan objek pajak
biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan usaha yang dikenai PPh bersifat final
biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan usaha yang bukan objek pajak
peredaran dari luar usaha yang dikenai PPh bersifat final
biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan dari luar usaha yang dikenai PPh bersifat final
(Rp  6.500.000.000,00)
(Rp  3.000.000.000,00)
Rp  4.500.000.000,00
Rp  1.500.000.000,00
(Rp     150.000.000,00)
Rp      25.000.000,00
Jumlah (Rp  3.625.000.000,00)
h. Jumlah seluruh penghasilan neto setelah koreksi fiskal  Rp  4.845.000.000,00
i. Kompensasi kerugian (Rp     845.000.000,00)
j. Penghasilan Kena Pajak  Rp  4.000.000.000,00
Penghitungan Pajak Penghasilan terutang :
a. Jumlah Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto yang memperoleh fasilitas :  Rp 4.800.000.000,00 X Rp 4.000.000.000,00 =Rp 548.571.428,00
Rp 35.000.000.000,00
b. Jumlah Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto yang tidak memperoleh fasilitas Rp  4.000.000.000,00 – Rp  548.571.428,00 = Rp 3.451.428.572,00
Pajak Penghasilan yang terutang :
– (50% x 25%) x Rp 548.571.428,00   =  Rp    68.571.428,00
– 25%  x Rp 3.451.428.572,00            =  Rp  862.857.143,00
Jumlah Pajak Penghasilan terutang      Rp  931.428.571,00
3. Peredaran bruto PT Jalapeno dalam Tahun Pajak 2010 adalah sebagai berikut :
– terkait PPh bersifat final                          Rp 45.000.000.000,00
– terkait bukan objek pajak                        Rp 15.000.000.000,00
– terkait PPh tidak bersifat final                Rp 20.000.000.000,00
Jumlah peredaran bruto                            Rp 80.000.000.000,00
dengan Penghasilan Kena Pajak sebesar Rp 3.500.000.000,00
Penghitungan Pajak Penghasilan terutang :
Seluruh Penghasilan Kena Pajak dikenai tarif berdasarkan Pasal 17 ayat (1) huruf b Undang-Undang Pajak Penghasilan karena jumlah peredaran bruto PT Jalapeno (Rp80.000.000.000,00) melebihi Rp 50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah).

Pajak Penghasilan yang terutang :
25% x Rp3.500.000.000,00 = Rp875.000.000,00